***************************
Kasih Ibu
HC. Andersen
***************************
Wali Kota berdiri di dekat jendela yang terbuka. Ia memakai kemeja licin berkanji, bros di renda kemejanya, dan mukanya dicukur sangat bersih. Ia mencukurnya sendiri. Wajahnya jadi tergores sedikit, tapi luka itu sekarang tertutup secarik kertas koran.

“Sini, Nak!” ia memanggil. Anak itu tidak lain anak si wanita tukang cuci, yang saat itu kebetulan lewat dan dengan penuh hormat melepas topinya. Paruh topinya sudah patah sehingga topi itu bisa dilipat dan dimasukan saku. Bocah yang memakai baju compang-camping tersebut berdiri diam. Pakaiannya bersih dan ditambal sangat rapi. Dengan memakai sepatu kayu yang berat, ia berdiri tegap bagai berhadapan dengan raja.
“Hebat sekali kau!” ujar Wali Kota.
“Anak yang baik! Ibumu pasti sedang mencuci baju di kali, dan minuman keras di sakumu pasti untuknya. Ibumu payah! Beberapa banyak yang kau bawa?”
“Setengah liter, Pak!” sahut anak itu, engan suara lirih dan ketakutan.
“Dan tadi pagi ia minum sebanyak itu juga?” sang wali kota melanjutkan.
“Tidak, itu kemarin, Pak!” bocah itu menjawab.
“Dua kali setengah liter berarti satu liter! Ia sama sekali tak berguna! Orang-orang kelas rendah memang payah. Bilang pada ibumu ia mestinya malu. Dan jangan sampai kalau jadi pemabuk ya. Tapi kurasa bagaimanapun kau bakal jadi pemabuk. Anak yang malang! Sekarang pergilah.”
Anak itu pun pergi. Ia terus memegang topi, dan angin meniup rambutnya yang kuning sehingga tegak di kepalanya. Ia menyusuri jalan, berbelok memasuki gang, dan berjalan menuju kali tempat ibunya berdiri di dalam air di samping papan cuci. Air kali mengalir deras karena pintu bendungannya dibuka. Kain-kain terbawa arus dan nyaris menjungkirbalikan papan cuci. Si tukang cuci terpaksa berpegangan kuat-kuat.
“Tenagaku hampir habis!” serunya. “Untung saja kau datang, aku butuh penyegar. Dingin sekali di dalam air. Aku sudah enam jam berdiri di tempat ini. Ada yang kau bawa untukku?”
Si bocah menyeluarkan botol dan ibunya menempelkannya di bibir lalu meneguk isinya. “Oh, enak sekali! Badanku jadi hangat! Rasanya seenak makanan panas, dan harganya lebih murah. Minum, anakku! Kau tampak begitu pucat, kau mungkin kedinginan, cuman mengenakan pakaiaan tipis seperti itu! Padahal sekarang musim gugur. Oh, dinginnya air ini! Semoga aku tidak sakit. Tidak akan. Biar aku minum lagi, dan kau juga, tapi sedikit saja, kau tidak boleh membiasakan diri minum, anakku yang malang.” Continue reading “KASIH IBU (HC. Andersen)”
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.